Pidato Terakhir Bung Karno
Ini tentang sebuah buku yang saya tulis tahun 2001, berjudul Aktualisasi Pidato Terakhir Bung Karno: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Never Leave History!).
Buku ini —believe it or not— saya tulis dalam kurun waktu kurang dari dua minggu, dan menjadi salah satu buku dari serangkaian buku Seri Pemikiran Bung Karno yang diterbitkan Grasindo (PT Gramedia Widiasarana Indonesia) dalam rangka memperingati 100 Tahun Proklamator kita.
Dalam buku ini, saya menafsirkan dan menginterpretasikan pidato Bung Karno pada peringatan 17 Agustus 1966, serta membandingkan dengan situasi aktual ketika itu. Moralnya hanya ingin menunjukkan bahwa dalam banyak hal, pemikiran dan penuturan Bung Karno bersifat everlasting… evergreen... tak lekang dimakan waktu. Banyak wejangan Bung Karno yang terbukti relevan dengan situasi dan kondisi saat ini, dan saya yakin, hingga ke masa depan. Satu hal yang membuat saya menilai Bung Karno adalah seorang futurolog yang baik.
Ihwal pidato 17 Agustus 1966 yang saya katakan sebagai pidato terakhir, dalam pengertian pidato kenegaraan yang begitu dinanti rakyat Indonesia setiap tanggal 17 Agustus. Sejarah telah mencatat, 17 Agustus 1967 dia sudah tidak lagi berkuasa, sehingga mulutnya terkunci, dan dunia tak lagi mendengar spirit progresif revolusioner dari seorang Putra Sang Fajar. Dunia tak lagi menyimak kecamannya atas hegemoni liberalisme dan kapitalisme.
Selain menafsir pidato yang sering disingkat orang dengan “Jas Merah” itu, saya juga melakukan riset kecil-kecilan terkait respons media massa pada zamannya. Beberapa kali saya masuk-keluar perpustakaan nasional, membolak-balik lembar demi lembar koran tua. Beberapa artikel dan berita, saya sertakan pada epilog buku agar pembaca maklum, bahwa tahun 1966, sejumlah media memang telah memposisikan Bung Karno pada satu sudut yang sulit. Ada semacam penggalangan opini yang begitu sistematis terkait peristiwa G-30-S/PKI, sehingga Bung Karno “dipaksa” harus menerima status sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.
Di sini sebuah ironi tampak. Seorang Presiden yang hendak dikudeta, justru dituding “terlibat” (langsung atau tidak langsung) dengan kudeta itu sendiri. Nalar mana yang membenarkan seorang presiden mengkudeta dirinya sendiri?
Alhasil, “pesan terakhir” Bung Karno yang berjudul “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”, saya resapi sebagai sebuah seruan yang harus terus digaungkan sepanjang zaman. Bangsa yang melupakan sejarah, akan dengan mudah tercerabut dari akar sejarah itu sendiri, dan menjadi bangsa antah berantah. Indonesia, saya katakan sebagai sebuah bangsa dan negara yang sedang dalam proses melupakan sejarah.
Entah diskenariokan atau tidak, amandemen terhadap UUD 1945 oleh MPR periode 1999 – 2004 yang mengubah sistem tatanan negara, sistem politik, dan sistem demokrasi (50 + 1 boleh mambantai yang 49), telah mengakibatkan kita bukan lagi “Indonesia yang mengagungkan musyawarah gotong royong”. Perubahan pasal 33, mengakibatkan kita terjerumus pada ekonomi pasar bebas dalam keadaan kita masih teramat rapuh. Tidaklah heran jika sumber daya alam yang begitu melimpah, tak juga mampu mengangkat derajat dan kesejahteraan bangsa. Sebab, para komprador bangsa telah “menjual” Indonesia untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. (roso daras)
Tidak ada komentar