makna dari ungkapan Bung Karno yang dikenal Jas Merah ?
Ungkapan Bung Karno ”Jas Merah” atau jangan sekali-kali melupakan sejarah sejatinya perlu dipertimbangkan Pemda Banyuwangi. Sejarah merupakan cermin bagaimana masa depan seharusnya ditata, dibenahi, dan dikontruksi.
Sejarah kebijakan pertambangan di negeri ini telah mencatat, bahwa ekstraksi emas, migas, batu bara, timah, besi, dan lainnya erbukti ttelah memberi mudhorot yang lebih besar, dibanding dengan manfaat yang diharapkan. Bila Qoidah usulul fiqh berkata ”Dar ul mafasid muqoddamun ala jalbil masoleh—membuang kejelekan itu lebih baik dari mengambil kebaikan”, semestinya tingkat kemudhorotan yang lebih besar dan kerap dihadirkan perusahaan tambang itu direnungkan, dibanding dengan mengejar kebaikan dalam bentuk imimg-iming kesejahteraan, ketersediaan tenaga kerja, dan keniakan Income negara-daerah yang selama ini tidak terbukti.
Kebijakan dan ijin pertambangan dalam bentuk apapun, hanya menguntungkan segelintir elit dengan cara mengorbankan nasib ribuan warga. Khusunya yang tinggal di lingkar tambang. Pengalaman tambang skala besar di Kalimantan, Sumatra dan Papua semestinya membuka mata hati pemerintah untuk tidak mengulangnya di Banyuwangi.
Apalagi Banyuwangi masih yang memiliki potensi alam luar biasa, Salah satunya hutan yang luasnya mencapai 183.396,34 Ha., pertanian yang terdiri dari 64.469,00 Ha sawah produktif dan 16.215,33 Ha tegalan, perkebunan rakyat seluas 31.249,00 Ha, dan perkebunan besar seluas 48.395,21 Ha. Ini belum termasuk hasil perikanan tawar yang dalam setahun mencapai Rp. 3,375,018,000 dan perikanan laut – potensi utamanya.
Bila kekayaan alamitu dikelola dengan bijak maka bukan tidak mungkin demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tanpa harus merusak alam akan terwujud. Bukankah ditahun 1960-an Bung Karno dengan tegas mengatakan ”Alam ini bukanlah warisan dari nenek moyang kita, melainkan pinjaman dari anak cucu bangsa yang harus dijaga keberlanjutannya”
Mari belajar dari sejarah tanam paksa (Cultuurstelsel) yang dilakukan Belanda sepanjang 40 tahun, sejak 1830 hingga 1870) di tanah Jawa. Dalam buku A History of Modern Indonesia Science 1200 (Palgrafe; 1981) M.C. Ricklefs mencatat tanam paksa merupakan awal dari kebangkitan Kerajaan Belanda yang di masa itu dililit utang akibat perang yang berkepanjangan.
Setelah setahun diterapkan, anggaran belanja pemerintah kolonial Belanda naik. Uang dalam jumlah besar dikirim ke negeri Belanda. Dari 1831 hingga 1877, Belanda menerima 832 juta florins (f). Sebelum tahun 1850 kiriman uang itui mengisi sekitar 19 % dari pendapatan negara Belanda, lalu menjadi sekitar 32 % pada tahun 1851-60, dan 34 % pada tahun 1860-66.
Uang itu membuat kondisi ekonomi negeri Belanda stabil; utang dilunasi, pajak-pajak diturunkan, kubu-kubu pertahanan, terusan-terusan, dan jalan kereta api negara di bangun, semunya dengan keuntungan-keuntungan yang diperas dari keringat penduduk desa-desa di Jawa. Mereka harus menanam komoditas ekspor macam kopi, teh, cengkeh, tembakau, lada, kayu manis, pala, dan tebu (gula).
Guna menunjang tanam paksal, pemerintahan Belanda membangun pelabuhan “Pintu Belakang” Cilacap Jawa Tengah. Susanto Zuhdi dalam Cilacap 1830-1942, mencatat Belanda memberi perhatian khusus pada pelabuhan ini. Ia akan mendukung distribusi produksi hasil bumi komoditas ekspor di daerah pedalaman karesidenan Kedu, Banyumas, Surakarta, dan beberapa daerah di Jawa Tengah. Itu pusat-pusat tanam paksa.
Tak lupa, mereka juga membuka jaringan rel kereta api Yogyakarta ke Cilacap dan Cilacap ke Cicalengka (1887-1930). Dus, Cultuurstelsel telah mengantarkan masyarakat Jawa mengenal sistem ekonomi liberal dalam jaringan perdagangan global.
Melalui tanam paksa pemerintah Hindia Belanda secara tegas mengatur Tata Guna Lahan (TGL). Kawasan perbukitan diperuntukkan bagi tanaman berakar keras seperti kopi, teh, Cengkeh, dan kayu manis. Kawasan pertengahan untuk bertanam lada dan nila. Sementara pesisir ditanam tebu dan tembakau. Hanya butuh 40 tahun optimalisasi sektor pertanian dan perkebunan telah mengembalikan kejayaan Kerajaan Belanda.
Terlepas dari kerugian yang dialami Indonesia, harus diakui Belanda sukses meraup keuntungan dari praktek tanam paksa. Andai saja pemerintahan ini yang memiliki perhatian pada sektor pertanian dan perkebunan, andai saja luas wilayah Banyuwangi yang mencapai tiga kali lipat propinsi Jogjakarta itu dioptimalkan, andai saja penambangan tidak ada, tentunya masyarakat akan menjadi lebih sejahtera.
Kutukan Sumber Daya
Jas Merah lainnya yang perlu dipakai adalah fakta kecenderungan negara kaya sumber daya alam, khususnya bahan tambang, memiliki performa ekonomi lebih buruk, ketimbang negara-negara yang miskin bahan tambang.
Sekitar 30 tahun lalu, pendapatan per kapita Indonesia dan Nigeria seimbang. Keduanya sama-sama bergantung pada pendapatan migas. Saat ini pendapatan per kapita Indonesia justru empat kali lipat pendapatan per kapita Nigeria. Pendapatan per kapita Nigeria turun dari 302,75 dollar pada 1973 menjadi 254,26 dollar pada 2002. Kasus serupa terjadi di Sierra Leone dan Bostwana yang kaya berlian. Bostwana memiliki pertumbuhan rata-rata 5,2% pada tahun 1974 sampai 2002, sementara Sierra Leone jatuh dalam konflik sipil yang memperebutkan kendali atas tambang dan pasar gelap berlian.
Sekalipun negara-negara kaya bahan tambang mengelolanya dengan baik, mereka kerap terjebak dalam ketimpangan, negara kaya dengan penduduk miskin. Penghasil minyak terbesar di Amerika Latin, Venezuela, pendapatan per kapitanya juga turun kembali ke tingkat pendapatan pada tahun 1960-an bahkan dua pertiga dari penduduknya miskin saat buah dari rezeki minyak hanya dinikmati oleh segelintir orang. Negara-negara lainnya, Algeria, Angola, Kongo, Ekuador, Gabon, Iran, Irak, Kuwait, Libya, Qatar dan Trinidad Tobago kembali ke tingkat pendapatan tahun 1970-an dan awal 1980-an.
Studi OPEC pada 1965-1998 memperlihatkan produk nasional bruto per kapita mereka turun rata-rata sebesar 1,3% per tahun, sementara Negara-negara berkembang non migas (pertanian dan perkebunan), naik sebesar 2,2% dalam periode yang sama. Studi ini menujukkan, makin tinggi ketergantungan pada migas dan bahan tambang lainnya, makin buruk pula tingkat pertumbuhannya. Negara-negara yang mengandalakan APBN nya dari ekspor minyak tidak hanya lebih buruk ketimbang Negara lain yang kekayaannya sedikit, tapi juga jauh lebih buruk dari yang seharusnya mereka dapatkan.
Negara bergantung migas dan bahan tambang lainnya, juga rawan terhadap kegagalan kebijakan. Pada situasi ini, negara menjelma “pot madu” ia cenderung digunakan demi kepentingan kekuasaan dan meluaskan korupsi. Buktinya, Negara-negara pengekspor migas lebih korup ketimbang Negara-negara lain di dunia. Nigeria, Angola, Azarbaizan, Kongo, Kamerun, dan Indonesia bersaing posisi ”paling korup” dalam rengking tahunan yang dirilis Transparence International.
Pendiri OPEC, Juan Pablo Perez Alfonzo, menyebutnya efek ”kotoran setan”. Negara-negara pengekspor minyak mengidap ”paradox of plenty” yaitu problem raja midas dimana mereka kerap bermasalah secara ekonomi dan penuh konflik.
Pada situasi inilah rumusan kebijakan dan pilihan ekonomi yang lebih berkelanjutan penting dikedepankan Banyuwangi. Jangan lupa Sejarah.
Tidak ada komentar